Sabtu, 03 Januari 2009

Akhir Perjalanan

Mentari kian terik saat aku terjaga dari tidur panjangku. Semalam mengerjakan tugas kantor membuatku penat dan lelah sehingga aku terpaksa tidur dini hari. Kulirik jam wekerku yang berdiri membisu di meja sebelah tempatku berbaring. Jarum menunjukkan angka yang membuatku terkejut, saat ini sudah pukul 08.00 pagi. Tidak seperti biasanya aku bangun kesiangan dan lupa akan tugas-tugas yang harus dikerjakan pada pagi hari. Kewajiban yang bagi sebagian anak kota tidak akan dilakukannya, namun aku melakukannya dengan penuh semangat dan tanggung jawab karena aku mengerti benar dengan mengerjakannya, aku bisa membantu kedua orang tuaku yang sibuk. Bergegas aku mengambil handuk dan bersiap mandi supaya aku bisa lekas mengerjakan tugas yang tertunda itu.

“Dani,” panggil ibuku yang sedang memasak sarapan bagi seluruh anggota keluarganya.

“Ya bu,” sahutku sambil memakai baju.

“Tolong Ibu dibantu mencuci dan menyapu lantai ya? Nanti sore adikmu pulang ke rumah. Ibu ingin rumah rapi sebelum siang karena bapak pasti marah kalau rumah berantakan seperti ini,” ungkap ibu.

“Ya bu, nanti saya kerjakan setelah saya ganti baju,” jawabku patuh.

“Oh ya, jangan lupa sarapan sebelum mengerjakan tugas, sarapan penting untuk energi tubuhmu dalam beraktivitas seharian penuh,” lanjut ibu.

“Siap Bu,” ucapku seakan-akan anak buah menerima perintah atasannya.

Pekerjaan rumah yang padat dan menumpuk ditambah hari sudah beranjak siang membuatku bermandikan peluh. Tugas yang seharusnya menyenangkan ini karena sudah menjadi rutinitas sehari-hari ini entah mengapa hari ini terasa berat sekali seakan-akan ada karung beras seberat 50 kilogram di pundakku. Sarapan yang kuhabiskan pagi tadi tidak terasa telah berubah menjadi keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Perutku yang biasanya tidak bersuara kali ini bersuara nyaring meminta diisi kembali. Dengan segera aku menuntaskan pekerjaanku agar bisa mengisi tenaga kembali dengan makan siang yang bergizi tinggi. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bermalam mingguan dengan keluargaku hanya karena perutku tidak terisi penuh. Sangat jarang keluargaku bisa berkumpul bersama-sama karena padatnya aktivitas sehari-hari yang membuat anggota keluargaku mengorbankan banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga.

Bapak mencari nafkah di dinas perhubungan yang menuntutnya untuk selalu siap jika menerima panggilan sewaktu-waktu dari kantor. Ibu bekerja sebagai guru sekolah dasar yang membuatnya baru sampai di rumah pada siang hari, bahkan tak jarang ibu mengajar sampai sore hari terlebih jika mendekati akhir semester. Aku sendiri mencari penghasilan sebagai karyawan marketing sebuah perusahaan pembiayaan kredit sepeda motor. Jadwal kerjaku yang tidak menentu membuat aku kadang kala harus bekerja sampai larut malam jika ada nasabah yang ingin bertemu di kantor pada malam hari. Adikku, Adi membanting tulang sebagai polisi di Kepolisian Daerah Jawa Tengah sehingga adikku jarang pulang karena sering ditugaskan ke luar kota pada akhir minggu terlebih jika ada hari raya besar yang mewajibkan para polisi untuk bersiap siaga selama 24 jam penuh memantau keamanan di daerahnya. Oky, adikku yang bungsu masih sekolah di salah satu sekolah swasta di Solo sehingga adikku inilah yang paling sering menjaga rumah dan membersihkan rumah pada siang hari saat seluruh anggota keluarga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Siang ini rumahku begitu ramai karena orang tuaku mengambil libur dari pekerjaannya masing-masing karena Adi akan pulang sore harinya. Ibuku memasak makanan kesukaan Adi dengan penuh semangat karena Adi jarang menghabiskan waktunya di rumah akhir pekan. Aku menyibukkan diri dengan merawat tanaman hias untuk membunuh waktu. Hari ini aku tidak bisa ke rumah kekasihku karena aku harus siap sewaktu-waktu jika ibu menyuruhku untuk membeli bahan masakan.

“Dani,” panggil ibuku.

“Ya bu, aku segera ke sana,” sahutku sopan saat aku masih asyik memotong ranting-ranting kering tanaman Aglaonema.

“Tolong ibu dibantu menggoreng ikan, ikannya ada di kulkas dan bumbunya ada di atas meja makan. Jangan digoreng lama-lama, kalau digoreng lama-lama nanti ikannya hangus. Kalau sudah selesai penggorengan sama sendok bumbunya jangan lupa dicuci sampai bersih,” perintah ibu.

“Ya bu, perintah akan segera dilaksanakan. Laporan selesai,” sahutku sambil menegakkan badan dan bersikap sempurna seolah-olah tentara yang sedang menerima perintah dari komandannya.

“Jangan bercanda,” sahut ibu sambil tetap memasak.

“Iya, Dan. Nanti kalau ibumu ini marah-marah bisa-bisa satu rumah tidak makan seharian,” tambah bapak sambil tertawa terbahak-bahak.

********************

“Bapak, Ibu, Mas, Adik, anakmu yang paling cakep ini pulang,” teriak Adi dari depan pintu rumah sambil membawa tas besar.

“O, kamu sudah pulang. Bapak kira kamu baru sampai nanti malam, “ kata bapak sambil memeluk anaknya.

“Ya pak, busnya cepat banget jadinya sudah sampai sebelum waktunya,” sahut Adi sambil melepaskan pelukan bapaknya dan ganti memeluk ibunya.

“Anakku, kamu sekarang tambah tinggi ya, sehari-hari makan sayur bambu ya?” canda ibu sambil mencium kening anaknya.

“Tidak bu, latihan fisik sebagai polisi membentuk badanku layaknya binaragawan yang akan berlomba di kejuaraan internasional. Mana mas Dani sama dik Oky?” tanya Adi serius.

“Mas Dani sama Dik Oky lagi keluar cari baju buat pesta besok malam,” jawab Ibu sambil menyuruh Adi menaruh barang bawaannya di kamar.

“Pesta apa,” tanya Adi heran.

“Ibu tidak tahu. Ini idenya mas Dani yang mau mengajak keluarga makan malam besok. Katanya yang bayar makanannya dia jadi keluarga cuma tinggal pesan makan,” jelas ibu.

“Kebetulan. Adi juga sudah lama tidak pernah makan di luar bareng-bareng sekeluarga. Adi kangen bisa kumpul bersama keluarga lagi seperti dulu waktu Adi masih kecil,” lanjut Adi.

Kedatanganku dan Oky menambah ramai suasana di rumah itu. Kami sekeluarga menunggu Adi mandi kemudian makan bersama di halaman belakang sambil bercakap-cakap. Kebersamaan yang sudah lama kunantikan. Kehangatan yang sudah lama tidak hadir di rumah ini. Keceriaan yang memecah keheningan sehari-hari. Makan malam yang normalnya hanya berlangsung selama 1 jam bisa berlangsung lebih lama karena masing-masing bercerita tentang kegiatannya sehari-hari. Tak terasa waktu kian larut. Keheningan dan kesunyian malam yang bertaburkan bintang dan berhiaskan bulan yang tersenyum memandangi keharmonisan keluargaku menambah indahnya suasana yang jarang sekali kutemukan.

********************

Restoran Sunda itu nampak ramai. Lampu yang temaram ditambah dengan dekorasi yang artistik menambah kecantikan interior restoran yang baru berdiri dua bulan itu. Suasana yang begitu romantis ini membuat banyak muda-mudi bersantap malam sambil bercengkerama dengan pasangannya. Kedatangan keluargaku membuat tempat ini menjadi penuh sesak dengan manusia yang ingin memuaskan nafsu rohaninya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bersantap malam bagi sebagian orang merupakan saat yang paling tepat untuk berkumpul dengan keluarga, menghabiskan waktu bersama, dan saling merekatkan relasi batin yang telah lama terbentuk. Kesibukan manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada kehidupan rohaninya membuat manusia sering kali melupakan keluarganya. Waktu yang terbatas dan kesibukan sehari-hari menjadi alasan yang sering kali dilontarkan ketika ditanya intensitas berkumpul bersama dengan keluarga. Hal inilah yang menjadi alasanku untuk mengajak keluargaku makan malam bersama di restoran ini. Membangun kembali ikatan yang seakan putus, merekatkan kembali tali silaturahmi yang terputus karena terpisah jarak dan waktu, serta kerinduan akan hangatnya kebersamaan keluarga membuat aku memutuskan untuk mengajak seluruh keluarga bersama-sama bersantap sambil berbincang-bincang. Kehangatan yang sudah lama aku rindukan dan aku nanti kedatangannya.

“Bagaimana kabarmu Di?” tanyaku sambil mengambil udang bakar.

“Baik-baik saja mas, hanya saja Adi merasa agak canggung berkumpul lagi bersama keluarga. Adi sudah biasa hidup mandiri di asrama, jadi Adi kaget waktu mas Dani mengajak makan di restoran ini,” jawab Adi sambil memakan sup kepitingnya.

“Iya mas, aku juga merasa nyaman bisa kumpul bareng keluarga lagi. Kapan lagi kita bisa berbicara bareng-bareng seperti ini kalau tidak hari ini,” imbuh Oky.

“Ah, disyukuri saja Di, Ok. Kita beruntung masih bisa kumpul bareng. Masih banyak keluarga yang tidak bisa makan karena keterbatasan ekonomi atau anggota keluarganya tidak lengkap, ya kan?” jawabku mantap.

“Betul Dan,” jawab bapak dan ibu bersamaan.

“Bapak sama ibu kompak banget ya? Seperti masih muda saja,” canda Oky sambil tertawa.

“Usia boleh tua tapi semangat masih muda lho.” sergah bapak sambil menghabiskan nasi goreng ayam favoritnya.

“Betul Pak. Semangat ibu juga bisa diadu sama kalian yang masih muda,” tambah ibu seraya meminum es jeruk nipisnya.

Kebersamaan ini sayangnya harus diakhiri dengan pengumuman dari pengelola restoran yang menyatakan tempat usahanya akan tutup. Kami bergegas menghabiskan makanan yang masih tersedia. Perjalanan pulang ke rumah berlangsung dalam keceriaan karena masing-masing anggota keluarga termasuk aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan seru yang jawabannya aneh dan sama sekali tidak masuk akal.

********************

Ingatanku yang masih segar tentang peristiwa semalam membuatku menitikkan air mata. Aku tidak kuasa lagi menahan bulir-bulir air mataku meleleh melihat keluargaku yang meratapi kepergianku. Kecelakaan yang merenggut nyawaku membuatku berpisah untuk selamanya dengan mereka. Jasadku yang terbujur kaku di dalam peti jenasah menjadi saat-saat terakhir bagi mereka untuk dapat menemui bentuk fisikku. Ibuku berulang kali pingsan tatkala ada pelayat yang berbela sungkawa datang untuk melihatku terakhir kembali sebelum dibaringkan di tempat peristirahatanku yang terakhir.

Keluargaku terlebih yang orang-orang tua yang seumuran dengan bapak dan ibuku menyesalkan takdirku. Usiaku yang masih muda dan masa depan yang belum sempat kuraih menjadi bahan perbincangan mereka. Mereka tidak mengerti bahwa kematian tidak mengenal usia, kematian bisa saja terjadi ketika sedang tidur. Betapa tipisnya jarak kehidupan dan kematian sehingga aku merasa siap ketika ajal menjemputku. Kematian hanyalah sebuah sarana dan misteri bagi semua orang. Orang yang mati mungkin saja hanya mati secara raga saja. Rohnya tetap ada dan berpindah tempat dari dunia fana ke kehidupan kekal sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup di dunia. Duka yang mendalam semakin menjadi-jadi tatkala keluarga yang ditinggalkan tidak siap dan tidak menerima kepergian salah satu anggota keluarganya untuk selama-lamanya dengan ikhlas.

Aku hanya bisa termenung menyadari semua ini. Takdir memisahkanku dari keluargaku yang kucintai. KehendakNya untuk memanggilku kembali ke pangkuanNya tidak bisa aku tolak. Kebersamaanku bersama seluruh anggota keluargaku semalam menjadi perpisahan terakhir bagiku dan keluargaku. Keluargaku tidak mungkin lagi bisa menemuiku untuk selama-lamanya. Inilah akhir perjalanan panjangku di dunia fana ini. Dunia yang bisa membuat orang lupa akan kodrat dan takdirnya sebagai manusia. Dunia yang penuh tantangan dan godaan. Hanya orang-orang yang beriman teguh yang bisa menjalani perjalanan hidupnya selama di dunia sesuai dengan kehendakNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar